cerpen Langit Menggelap di Paris Van Java
di
Berdasarkan kisah yang dituturkan oleh Meinar Heidin XII
IS 2
Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila yang tidur di sisi pagar. Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil
mengulurkan tangan. "Apa kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang
kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan
keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru,
pilu, yang kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk
lelaki itu.
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna.
Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia
memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya. Hingga
Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi
tempat Mozes di sebelahnya.
"Kaget?" tanya Mozes, duduk di sebelah Reyna.
Reyna tertawa kecil.
"Gimana?" tanya Reyna tak jelas arahnya.
"Lama sekali nggak ketemu."
"Iya. Berapa tahun ya? Sebelas, tujuh
tahun?"
"Tujuh tahun!" jawab Reyna pasti.
"Ouw! Tujuh tahun. Dan kamu masih
semanis dulu."
"Terima kasih," Reyna tersenyum geli. Masih
’semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu
pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah tertutup
jearat dan kulit hitam. Tapi kalimat itu tak urung membuat Reyna tersipu. Merasa
bangga, tersanjung karenanya.
"Kapan datang?" tanya Reyna. Mulai berani lagi
menatap mata lelaki di sebelahnya.
"Belum seminggu," jawab Mozes.
"Mencariku?" Reyna tersenyum. Sisa genitnya di
masa muda. Mozes tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, "Aku
turut berduka atas meninggalnya Gusta," tawanya menghilang.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Mozes tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Mozes tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.
Reyna dan Mozes. Mozes anak kuliahan jurusan desain grafis yang bukan saja
terampil, tetapi juga cerdas dan kritis didukung dengan tingkatnya yang masih
terhitung muda.
Reyna yang saat ini sedang duduk di bangku SMA. Mereka bertemu karena Reyna
harus menemani neneknya datang ke sebuah acara keluarga besar yang ada di
Bandung bertepatan dengan libur Hari Raya Idul Fitri. Reyna yang ditinggal
Gusta, teman
dekat hampir menjadi kekasihnya dan Mozes yang jejaka. Dua orang muda yang masih
segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh cinta.
Reyna hampir saja meninggalkan Gusta ketika itu. Reyna merasa menemukan sampan
kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama
Gusta.
Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai
tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Mozes. Tetapi sampan
kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban berdua. Masa
muda yang penuh gairah dan berjiwa bebas. Mozes tak menginginkan
ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun
ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka
sebelum perjalanan dimulai, ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari,
bukan laki-laki seperti Mozes yang ia ingini untuk membebaskan dari derita
malam-malamnya. Mozes berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman
seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari
hiburan. Tak lebih.
"Berapa lama kamu akan tinggal?" tanya Reyna
setelah gejolak perasaannya mereda.
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku," jawab Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini."
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku," jawab Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini."
"Itu sebabnya kamu kemari?"
"Semarang semakin sesak dan panas. Sementara Bandung tempat
menyenangkan
buat liburan.
Jadi kuputuskan kembali," lanjut Mozes tanpa mengacuhkan pertanyaan Reyna.
"Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sedang
ada di sini menemani nenekmu di acara keluarga."
"Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan
dulu." Mozes menggeleng.
"Atau membangun hubungan baru." Mozes
menggeleng lagi, "Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti
itu. Aku hanya butuh teman ngobrol…"
"Teman yang lugu dan tidak tahu apa-apa yang bisa kamu
datangi dan kamu tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!" potong
Reyna. "Itu hubungan yang sejak dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti
sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih." Kebekuan
kembali merejam perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan kehilangan warna
jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada rangkaian
lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala bergantian,
hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang menyorot
ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin menggumpalkan kesenduan.
Tujuh tahun bukan waktu yang
sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada mereka dan sekian lama masing-masing
memendam untuk diri sendiri. Mestinya pertemuan sore itu adalah untuk berbagi
cerita bukan justru bertengkar kemudian saling diam. Atau mungkin karena
perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan
terlebih dahulu. Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata,
beberapa tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang
Mozes. Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama, seorang teman
mengabarkan bahwa Mozes pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar
Mozes tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak perlu
lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Mozes
tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya.
Terdengar Mozes menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan
kemarahan yang menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol
telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih
mengental di antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi. Hari-hari
setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di Paris Van Java lagi. Tetapi Mozes masih
sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana. Sendiri di tengah
orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap rokok kreteknya.
Sesekali mengibaskan rambut coklatnya yang panjang, tersapu angin menutup wajah tirusnya.
Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Mozes lagi,
ia kembali pada rutinitasnya, menunggu senja jatuh di Paris
Van Java.
Namun ia harus menelan kecewa karena Mozes tak dijumpainya. Bahkan telepon
genggamnya tak bisa dihubungi. Suatu sore, di tengah
keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan mengulurkan sebuah surat
kepadanya. Surat dari Mozes!
"Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu
tak pernah aktif," kata laki-laki itu. "Ginjalnya tak berfungsi,
serangan jantungnya kambuh, tekanan darahnya tidak stabil…"
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya.
Sepasang remaja di sebelahnya telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda
yang nongkrong di atas motor mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya.
Sisa adzan sayup terdengar dari Masjid Besar. Sebaris kalimat di surat terakhir
Mozes meluncur dalam gumaman .… maghrib begitu
deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan terkelupas.*