Abstrak: Hasil pemikiran ini mencoba
menawarkan konsep-konsep baru tentang masyarakat madani ditinjau dari sudut:
ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Secara ontologis, masyarakat madani
adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologi, masyarakat madani
bertujuan untuk meredam berbagai tuntutan reformasi baik dari dalam maupun luar
negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan timbul inovasi-inovasi
pendidikan. Secara epistemologis, masyarakat madani dicapai melalui tujuan
jangka pendek dan jangka panjang melalui demokratisasi pendidikan. Dengan
demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan
peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Inovasi pendidikan yang
berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah
pragmatik sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar budaya dan
masyarakatnya.
Kata kunci: masyarakat madani, masyarakat yang
demokratis, inovasi pendidikan, demokrasi pendidikan
*) Dr. Husaini Usman adalah
Ketua Jurusan Teknik Sipil dan Dosen Jurusan
I. Pendahuluan
Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak
akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia.
Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde
Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo
menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani
tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang
dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk
mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.
Berbagai upaya perlu dilakukan dalam mewujudkan masyarakat madani,
baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka
pendek dilaksanakan dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat
dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan
dapat memimpin (capable). Untuk jangka panjang antara lain adalah
dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani
melalui perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan penting untuk dikaji
mengingat konsep masyarakat madani sebenarnya merupakan bagian dari tujuan
pendidikan nasional. Jadi, pendidikan menjadi soko guru dalam mewujudkan masyarakat
madani.
Pendidikan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri
Yogyakarta.
Artikel ini membatasi pembahasannya pada pencapaian tujuan jangka
panjang masyarakat madani melalui demokratisasi pendidikan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa, "pendidikan nasional
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman
dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan
dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Melihat
kelengkapan tujuan pendidikan nasional tersebut seharusnya proses pendidikan
dapat mencapai tujuan tersebut sepenuhnya. Namun, dalam praktiknya ternyata
tujuan pendidikan nasional tersebut belum sepenuhnya tercapai. Hal itu
mengakibatkan lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan
perilaku-perilaku yang diharapkan oleh tujuan nasional tersebut sehingga
timbullah gagasan untuk membentuk masyarakat madani termasuk di masyarakat
kampus.
Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun 1995 oleh
Datuk Anwar Ibrahim, yang kemudian diikuti oleh Nurcholis Madjid (Mahasin,
1995: ix), sejak itu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat madani telah
"menggoda" dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan
mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani yang dimaksud. Namun,
pihak-pihak yang skeptis meragukan keberhasilan bangsa Indonesia mewujudkan
masyarakat madani. Dalam hal ini, Hefner (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat
madani adalah sebuah impian (dream) suatu komunitas tertentu. Oleh
karena itu, Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat
madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Senada dengan
pendapat Hefner tersebut, Mulder (1999) memberikan dugaan bahwa Indonesia masih
akan jauh dari pembentukan masyarakat madani karena demokratisasi pendidikan
belum berjalan lancar, sistem pendidikannya masih menerapkan faham kekuasaan,
masih terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi kemajemukan
peserta didik secara memadai. Jika reformasi dan inovasi pendidikan memang
mendesak untuk dilakukan dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan
menghadapi masyarakat madani, maka permasalahannya antara lain adalah,
"sampai sejauh mana pemahaman kita tentang makna masyarakat madani
(ontologinya)?, nilai-nilai manfaat apa yang diperoleh dengan terbentuknya
masyarakat madani (aksiologinya)?, dan bagaimana pemecahan masalahnya atau
bagaimana cara melaksanakan demokratisasi pendidikan untuk mewujudkan
masyarakat madani (epistemologinya)?, bagaimanakah arah reformasi dan inovasi
pendidikan harus dilakukan?, bagaimanakah agar demokratisasi pendidikan itu
berjalan mulus tanpa hambatan dan penyimpangan?, bagaimana kekuasaan dan
kepentingan pribadi atau golongan tidak menggoda untuk menunda demokratisasi
pendidikan?. Mengingat banyaknya masalah yang dihadapi dalam mewujudkan
masyarakat madani, maka pada kesempatan ini pembahasan dibatasi pada apakah
makna masyarakat madani itu, apakah manfaat mewujudkan masyarakat madani itu?,
dan bagaimana cara mewujudkan masyarakat madani melalui pendidikan
demokratisasi pendidikan?
Artikel ini mencoba mengungkapkan pemikiran yang menawarkan
konsep-konsep baru masyarakat madani yang mungkin dapat dijadikan masukan dalam
mewujudkan masyarakat madani melalui perspektif pendidikan. Tentu saja
pemikiran konseptual ini akan dapat dioperasionalisasikan di lapangan secara kontekstual
setelah melalui pengujian empiris yang profesional.
2. Pembahasan
Seligman seperti yang dikutip Mun’im (1994: 6) mendefinisikan
istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang
mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari
gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan
antarindividu, masyarakat, dan negara. Sedangkan civil society
menurut Havel seperti yang dikutip Hikam (1994: 6) ialah
rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main
melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik
partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan
gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah
hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi
ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai
warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa
atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah.
Gellner (1995:2) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud
manakala terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi
dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas
yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah
milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan,
ditakut-takuti, dicecal, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari
demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani
pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi dan
perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama
masyarakat madani.
Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan
kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan
Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999: 15-16). Jiwa demokrasi Soeltan
Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama
di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto,
tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi
ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien
Rais dari Yogyakarta.
Gellner seperti yang dikutip Mahasin (1995: ix) menyatakan bahwa
masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, civil society. Kata
civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang
artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civil
akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh
sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas
masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti
ini menurut Madjid seperti yang dikutip Mahasin (1995: x) pada awalnya lebih
merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya,
lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah,
yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit,
masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan
kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif
lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi (1999:67) seperti
yang ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos
bahwa hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan
kekuatan ABRI untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut ditambahkan
oleh Suwardi (1999:67) bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat
madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); civil
society tidak berkebalikan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang
banyak diasumsikan orang awam.
Rahardjo (1997: 17-24) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan
terjemahan dari bahasa Inggris, civil society. Istilah civil society sudah
ada sejak Sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil
society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil
society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti
yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan
konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota
difahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat
peradaban dan kebudayaan
Istilah madani menurut Munawir (1997: 1320) sebenarnya berasal dari
bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana
yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah
menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang
bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam
bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid
(1997: 294) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan
kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika
Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.
Hall (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil
society, artinya suatu gagasan, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu
komunitas yang dapat terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial. Dalam
masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan
kemanusiaan. Hefner (1998: 16-20) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan
masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam
berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam keadaan
seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh
kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan
berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
Masyarakat madani menurut Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi
(1999: 9) ialah masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain
mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep
negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat
madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban)
yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah
sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad
pertengahan.
Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam
negeri oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar.
Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka,
pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar
(Nordholt, 1999: 16), jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah,
menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin
hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia (Farkan, 1999: 4).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
madani pada prinsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi,
toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi,
koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi,
namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang
tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanannya
pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (al-madaniy) jelas
mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah
bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai
publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung
tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui makna
madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai
masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu
kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik.
Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah
terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan
reformasi di dalam negeri dan tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar
negeri. Di samping itu, menurut Suwardi (1999: 66) melalui masyarakat madani
akan mendorong munculnya inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan.
Selanjutnya, ditambahkan oleh Daliman (1999: 78-79) bahwa dengan terwujudnya
masyarakat madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti:
konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial,
kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara
pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga
dan lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan
dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka,
tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan
kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran
akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah.
Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi
dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini
mendukung pendapat Suryadi (1999: 23) dan Daliman (1999: 78) yang intinya
menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu
serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara
total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak
terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan
toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi.
Ciri utama masyarakat madani adalah demokrasi. Demokrasi memiliki
konsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam
sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang independen sehingga
memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan
pembangunan, dan sekaligus masyarakat sebagai pelaku ekonomi pasar. Bila
masyarakat Indonesia tidak demokratis, maka Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan
politik dari kaum reformis di dalam negeri. Di lain pihak, dari luar negeri,
Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari PBB, Bank
Dunia, IMF, dan negara-negara penganut faham demokratis. Sementara ini, ekonomi
kita masih sangat bergantung pada pinjaman Bank Dunia dan IMF. Jika Bank Dunia
dan IMF tidak memberikan bantuannya, maka ekonomi kita akan semakin terpuruk di
mata internasional. Jika ekonomi kita semakin terpuruk, maka kerusuhan sosial
akan semakin meningkat yang pada gilirannya membahayakan stabilitas nasional
dan dikhawatirkan akan terjadi disintegrasi bangsa. Di samping itu, mengingat
kondisi masyarakat Indonesia yang khas sebagai unity dan diversity, maka
karakteristik masyarakat madani cocok diterapkan di Indonesia sehingga
persatuan dan kesatuan, toleransi umat beragama, persaudaraan, saling mengasihi
sesama umat, dan persamaan hak akan menjadi lebih terjamin. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa ciri utama masyarakat madani Indonesia adalah demokrasi
yang menjunjung tingi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang mempunyai faham
keagamaan yang berbeda-beda, penuh toleransi, menegakkan hukum dan peraturan
yang berlaku secara konsisten dan berbudaya (Hartono, 1999: 55).
3. Pemecahan Masalah
Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan
melakukan demokratisasi pendidikan. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa
Yunani yang terdiri dari kata demos (rakyat) dan kratos
(pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan
kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin
spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan
prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi memberi keyakinan
bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi faktor utama yang dilibatkan dalam
pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang luar biasa di
dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi lebih berpihak kepada rakyat.
Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan
untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan
demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir
kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi
(Suryadi, 1999: 23).
Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar
disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan
generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui
pendidikan (Hartono, 1999: 55). Senada dengan pendapat Hartono tersebut,
Marzuki (1999: 50) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat
madani adalah melalui jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa
mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi
melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan
berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan
mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab (melu
angrungkebi), terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang
lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat,
ikut merasa memiliki (melu handarbeni), sama-sama merasakan suka dan
duka dengan masyarakatnya (padhasarasa), dan mempelajari kehidupan
masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka
demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa
seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin
harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap
tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan
dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya.
Pernyataan ini mendukung pendapat Suwardi (1999: 66) yang menyatakan bahwa
sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik, tanpa
memperhatikan pluralisme subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar
tercipta masyarakat madani. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui
demokratisasi pendidikan.
Demokratisasi pendidikan tidak harus dimulai dari sistem pendidikan
berskala nasional. Bahkan akan lebih efektif kalau dimulai dari sistem
pendidikan berskala lokal berupa pendidikan di dalam kelas. Dalam proses PBM di
kelas, demokrasi pendidikan dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma
keberadaban, sebab menurut Zamroni (1997: 1) hal ini merupakan inti dari proses
pendidikan.
Pelaksanaan demokratisasi pendidikan di kelas harus mampu membawa
peserta didik untuk menghargai kemampuan teman dan guru, kemampuan
sosial-ekonomi teman dan guru, kebudayaan teman dan guru, dan sejumlah
kemajemukan lainnya (Vaizey, 1976: 115). Di samping itu, menurut Battle seperti
yang dikutip Shannon (1978: 32) demokratisasi pendidikan dalam PBM juga dapat
ditempuh dengan mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia sekarang yang
sangat dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakatnya (pragmatisme), tanpa
harus melupakan hari kemarin.
Sebagai contoh jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang
masyarakat petani, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil
nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil
pertanian. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat nelayan,
maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan
anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil perikanannya. Jika peserta
didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat bisnis, maka orang tua atau
keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu
meningkatkan produktivitas usaha bisnisnya, dan seterusnya.
Contoh-contoh tersebut di atas menggambarkan bahwa dalam melakukan
inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu diperhatikan
masalah-masalah pragmatik yakni mulai dari pemilihan materi ajar, penentuan
tujuan, pemilihan metode, pemilihan evaluasi hasil belajar, output lulusan,
sampai kebutuhan yang diharapkan dunia kerja. Hal ini cukup beralasan karena
pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan
menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Hal
ini juga dinyatakan oleh Barnadib (1997: 1) bahwa pendidikan memang sebagai
upaya mengembangkan kemanusiaan dan pengalihan kebudayaan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Itulah sebabnya pengajaran pragmatik yaitu pengajaran yang
menekankan pada aspek fungsi akan menjadi salah satu alternatif pencapaian
pengajaran yang berwawasan kemanusiaan dan peradaban. Oleh sebab itu, di dalam
PBM yang pragmatik akan tercipta suasana kondusif bagi demokratisasi
pendidikan.
Asumsi pendidikan pragmatik diturunkan dari pemeo klasik yang
dikemukakan Rodrigues dan Badaczewski (1978: 278) yang menyatakan, "Kita
boleh membawa kuda masuk ke sungai, namun kita tidak mampu menyuruh kuda itu
meminum air." Maknanya adalah pengajar (kita) hanya bisa memberikan
dorongan (tut wuri handayani) kepada peserta didik (kuda), namun biarkan
peserta didik itu sendiri yang memanfaatkan informasi (air) itu. Biarlah
peserta didik itu sendiri yang melakukan SITR (seleksi, interpretasi,
tranformasi, dan revisi) terhadap semua informasi yang telah diterimanya.
Seleksi berarti memilih informasi yang lengkap, objektif, dan relevan.
Interpretasi berarti pemberian makna. Tranformasi berarti mampu mengemasnya
kembali dengan bahasanya sendiri dan menawarkan gagasan-gagasan baru ke pihak
lain. Revisi berarti terbuka untuk memperbaiki gagasan-gagasannya setelah mendapat
masukan yang konstruktif dari pihak lain.
Dalam proses pengajaran pragmatik, pendidik tidak monopoli dalam
memberi dan mencari informasi. Intervensi pendidik adalah sebagai fasilitator,
dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri
makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha
menciptakan iklim PMB yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai
mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik
bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan
agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu.
Dalam pendidikan pragmatik yang bersifat profesional diakui bahwa
kelemahan pendidikan semata-mata hanya untuk menyiapkan tenaga kerja yang
sifatnya praktis. Kalau demikian halnya, pendidikan hanya akan menciptakan
bangsa tukang dan bukan bangsa pemikir. Namun, pendidik tidak hanya menerapkan
pendidikan pragmatik melainkan juga pendidikan yang bersifat akademik yang
bertugas menciptakan pemikir-pemikir bangsa yang sifatnya teoritis. Di samping
tidak hanya teoritis, melainkan harus ada tindakan nyata dari hasil
pemikirannya. Oleh sebab itu, perlu ada keseimbangan antara keterampilan
operasional dengan kemampuan konseptual sehingga tercipta sumber daya manusia
Indonesia yang berwawasan global dan sekaligus bertindak lokal.
Freire (1984: 24) menyarankan upaya untuk mencapai demokratisasi
pendidikan yang berwawasan adalah dengan menciptakan kebebasan interaksi antara
pendidik dengan peserta didiknya dalam PBM di kelas. Oleh sebab itu, PBM harus
terbuka dan penuh dialog yang sehat dan bertanggung jawab antara pendidik
dengan peserta didik. Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam bentuk
egaliter dan kesetaraan (equity). Dengan adanya kesetaraan ini,
kebebasan berinisiatif, berbeda aspirasi dan pendapat, dan keadilan dalam
pendidikan akan terakomodasi. Bahkan Wahid seperti yang dikutip Freire (1994:
xv) telah meyakinkan kita bahwa pendidikan memang merupakan wahana terpenting
untuk mencapai kemerdekaan (kebebasan). Dengan kebebasan ini menurut Russel
(1998: 63) akan mewujudkan demokratisasi pendidikan.
Komunikasi dalam demokratisasi pendidikan harus terjadi ke segala arah
dan bukan hanya bersifat satu arah yaitu dari pendidik ke peserta (top down)
melainkan juga ada keseimbangannya yaitu dari peserta didik dengan pendidik dan
antarpeserta didik sendiri (network). Dengan model komunikasi top
down timbul kecenderungan pendidik akan merasa capek sementara peserta
didik tidak mengerti, pasif, bosan, mengantuk, dan lebih parah lagi peserta
didik tidak mendapatkan informasi baru. Pendidik merupakan satu-satunya sumber
belajar dengan otoritas yang sangat tinggi dan menganggap otak peserta didik
bagaikan tong kosong yang siap diisi penuh dengan berbagai informasi darinya.
Sebaliknya, dengan model komunikasi network, sumber belajar bukan hanya
terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta didik. Guru cenderung tidak
merasa capek, peserta didik mengerti dengan belajar dari pengalamannya sendiri,
aktif, senang, dan kaya dengan informasi baru.
Namun, selama ini terkesan bahwa pendidikan menganut asas subject
matter oriented yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi
kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan
tingkat perkembangan psikologis mereka. Pendidikan yang menyangkut ranah
kognitif sudah dijalankan dengan perhatian yang besar. Pengelolaan pengajaran
yang ada memberi kesan terlalu berorientasi pada ipteks termasuk juga
keterampilan motorik terlalu berorientasi pada teknis (Moeldjanto, 1998: 63).
Dengan asas ini dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil;
tetapi kepandaian dan kecerdasan intelektual tersebut kurang diimbangi
dengan kecerdasan emosional. Keadaan demikian terjadi karena kurangnya
perhatian terhadap ranah afektif. Padahal ranah afektif sama penting peranannya
dalam membentuk perilaku peserta didik. Sekarang, dalam mendukung pelaksanaan
demokratisasi pendidikan, tibalah saatnya mengubah asas subject matter
oriented ke student oriented. Orientasi pendidikan yang bersifat student
oriented lebih menekankan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kebutuhan
peserta didik secara utuh baik lahir maupun batin. Dalam hal ini kecerdasan
otak memang penting, tetapi kecerdasan emosional juga tidak kalah pentingnya.
Dalam suasana PBM yang demokratis terjadi egalitarian (kesetaraan
atau sederajat dalam kebersamaan) antara pendidik dengan peserta didik.
Pengajaran tidak harus top down namun diimbangi dengan bottom up
sehingga tidak ada lagi pemaksaan kehendak pendidik tetapi akan terjadi
tawar-menawar kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, PBM,
dan evaluasi hasil belajarnya.
Hal serupa juga diakui Martadiatmadja (1986: 70-71) yang menyatakan
bahwa jika pengajaran kurang pragmatik dan lebih menekankan pada pengajaran
menghafal, maka hal ini jelas kurang bermanfaat. Teknik menghafal mendikte
peserta didik untuk menggunakan sistem drill dan hanya akan menjejali materi
dalam waktu singkat yang mungkin tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan
menurut Suryadi dan Tilaar (1993: 196) akan menyuap peserta didik dengan
berbagai informasi yang tinggal ditelan saja. Peserta didik tidak memiliki
kesempatan untuk mencari dan mencerna sendiri informasi sesuai dengan bakat dan
minatnya. Menurut Taroepratjeka (1996: 3) pendidikan yang berkonteks pragmatik
sedapat mungkin harus mampu menghargai bakat, minat, dan tujuan peserta didik.
Bila hal ini dilupakan, akibatnya peserta didik akan menjadi pembebek-pembebek
dan bukan menjadi manusia yang lebih beradab dan berbudaya melalui proses
pendidikan tersebut.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam pandangan Acarya
(1991: 147-148) menyatakan bahwa demokratisasi pendidikan merupakan pendidikan
hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita
masyarakat madani. Dengan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik
dan peserta didik, maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan
bertanggung jawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan
bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri dan mungkin saja berbeda dengan
pendidiknya asalkan ada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami demokrasi tetapi juga menjalani
latihan seperti berdebat, menghargai pandangan dan harga diri orang lain, serta
mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam setting diskusi. Peserta
didik ditantang menguji validitas pikirannya dengan argumentasi-argumentasi
yang rasional dan jika mungkin berdasarkan hasil penelitian yang seksama. Dalam
iklim PBM yang demokratis, pendidik tidak harus merasa paling pandai di dalam
kelasnya, tidak merasa paling benar di kelasnya, merasa telah menang belajar
satu malam dibandingkan dengan peserta didiknya; tetapi akan terjadi saling
tukar informasi dan pengalaman dengan peserta didiknya. Kondisi ini
dimungkinkan akan terjadi dalam demokratisasi pendidikan.
4. Kesimpulan
Secara ontologis, masyarakat madani bermakna ganda yaitu suatu
tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: demokrasi, transparansi,
toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi,
koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi.
Namun, yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Secara
aksiologis, masyarakat madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk
meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan
politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani
akan muncul inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi
bangsa. Secara epistemologis, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka
panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi
pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab
sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan
akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam
proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi
pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang
kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan
peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.